Makamah Syariah : Tugas dan Wewenang


Makamah Syariah : Tugas dan Wewenang
Makamah Syariah Aceh
A.Salim Ruhana menulis artikel dalam sebuah Buletin Cipta dengan judul “ Kerikil Tajam” di sekitar makamah syariah “. Menanggapi kehadiran makamah syariah, Ruhana mengajukan sejumlah pertanyaan : pertama, dengan winder mandate atau kewenangan yang lebih luas, yakni menangani hal perdata dan pidana Islam. Patut di pertanyakan seberapa jauhkah kesiapan hukum materil dan formil makamah syariah, termasuk kesiapan aparat peradilan, yang tentu saja dalam hal ini mereka harus paham betul tentang jinayat, misalnya. Bukankah ketergesaan dalam pelaksanaan hukum yang belum matang dapat terjadi kontra produktif, bahkan merusak citra baik hukum itu sendiri.
  
Kedua, makamah syariah akan menampung akan menampung kewenangan peradialan agama(PA) dan sekaligus peradilan negeri(PN), lalu dimana PTUN dan peradilan meliter? Bukankah di Indonesia ini kita 4 jenis badan peradilan, sesuai UU no 14/1970? Apa landasan hukum “penyatuan” wewenag PA dan PN dalam makamah syariah ini ? cukupkah satu perda (Peraturan Daerah), yang kekuatanya rendah dalam hirarki hukum kita, dijadikan landasan? Bayangkan, polisi sesuai dengan undang-undang yang berlaku harus menyerahkan kasus yang di tanganinya kepada peradilan negeri, yang berhadapan dengan perintah qanun (setara perda) yang menyuruh polisi dengan menyerah kasusnya keapada Makamah Syariah. Tentu, tentu perda akan kalah dengan undang-undang. Ketiga, selama ini hukum di Indonesia bersifat civil laws, yang bottom-up, fenomena apa yang terjadi di masyarakat kemudian di buatkan hukumnya. Dengan adanya hukum syariat yang dicoba praktikan di makamah syariah tentu sifat ini akan bergeser kea rah top-down, dalam khasus ini, hukum syariat ada kemudian di terapkan dalam kehidupan masyarakat. Begitukah ? kesiapan masyarakat perlu di pertimbangkan. Dan keempat, ada beberapa hal yang di kecualikan dalam undang-undang Otonomi Daerah, satu di antaranya adalah agama. 

Jika makamah syariah di Nanggroe Aceh Darussalam memberlakukan hukum islam, tidakah ini mengotonomikan agama? Bukankah hal ini, jikapun di tolerir hanya untuk NAD sebagai langkah kompromis pemerintah meredam gejolak Aceh. Pada gilirannya akan menajadi preseden baik daerah-daerah lain yang mendambakan hal yang sama, yakni formalisasi syariat islam, seperti pemekasan, Sumenep, Gresik, Malang, Sulawesi Selatan, Cianjur, Banten, Garut, Tasikmalaya dan banyak lagi. Atau mungkin juga hukum agama lain di beberapa provinsi yang mayoritas non-muslim. Demikian tulisan Salim Ruhana.

Apa yang di tanyakan Salim Ruhana sesuangguhnya juga menjadi pertanyaan dan sekaligus pertimbangan pemerintah.  Dan apa yang di khawatirkan Ruhana terhadap overlapping tugas dan wewenang makamah syariah sebenarnya sudah diatur dalam qanun NAD nomor 10 Tahun 2002. Hanya saja pengejawantahan dalam bentuk praxis-nya masih memerlukan pengkajian lebih lanjut. Penting di catat bahwa pemberlakuan syariat islam di aceh bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik, dan bukan pula satu-satunya cara pemerintah untuk memenuhi harapan masyarakat Aceh. Karena tanpa pengaturan dan unndang-undang itupun sebagian peraturan syariat sudah berjalan di dalam kehidupan masyarakat.

Satu hal yang paling penting adalah syariat islam tidak menjadi beban bagi masyarakat yang sudah benar-benar beriman kepada Allah dan Rusul-NYA. Karena bagaimanapun juga =, pelaksanaan syariat islam merupakan kosekuensi iman, kalau hukum Negara bersifat civil laws dan bottom-up, maka jika di bandingkan dengan syariat sangatlah berbeda. Hukum Negara adalah produk manusia sedangkan syariat adalah produk Allah. Makah yang lebih penting kedudukannya ? tentu saja hukum Allah di atas segalanya. Maka wajar jika masyarakat islam memilih hukum Allah untuk mengatur kehidupannya. 

Secara factual, hukum yang di buat oleh manusia tidaklah menjamin keselamatan dan keadilan, apa lagi supremasi hukum di tegakan sebagaiman mestinya. Akibatnya, pelanggaran hukum terjadi dimana-mana. Sedangkan hukum Allah menjamin keselamat dan keadilan,  siapa yang melanggarnya,  selain mendapat hukum di dunia, dia mendapat hukum di khirat. Tentu saja Allah lebih mengetahui apa yang bakalan terjadi dalam kehidupan manusia sehingga dia menciptakan hukum yang sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri. Disinilah antara lain, latak keunggulan syariat islam.

Kalau dibiarkan orang untuk terus bertanya, maka akan lahir banyak pertanyaan lain yang memerlukan banyak waktu untuk mengulas pertanyaan-pertanyaan tersebut.  Dan tentu saja untuk menjawab pertanyaan0pertanyaan tersebut memerluakan waktu yang tidak sedikit. Atau mungkin saja personalan tersebut tidak terjawabkan. Belum lagi berbicara tentang konflik Aceh yang berkepanjangan, yang sulit di perkirakan kapan ia akan berakhir. Memang jawaban tidak semudah pertanyaan. Semuanya proses dan terus bergulir mengitari waktu.

Pepatah Aceh mengatakan “ pat ujeun nyang hana pirang, pat prang nyang hana reuda” artinya, setiap hujan itu pasti ada masa berhentinya. Demikian juga perang pasti akan ada saat berhentinya. Setiap konflik pasti akan ada solusinya. Hanya saja sejauh mana kita menyikapi konflik itu. Dan bagaimana cara menyelesaikannya. Ini jauh lebih penting dari menyusun aneka pertanyaan folosofis. Demikian pula halnya dengan syariat islam, yang terpenting bukan dengan pertanyaan-pertsnyaan filosofi yang sulit di temukan jawabannya. Tetapi kesedian dan keiklasan mengamalkannya. Ketika syariat islam di amalkan secara konsisten dan konsekuen oleh para penganut agama islam maka dalam waktu yang sama pertanyaan skeptic tersebut akan sirna. Inilah antara lain makna dari “ jika kebenaran sudah tiba, maka kebatilan akan sirna” (al-isra’ : 81).

Adapun tugas dan wewenang Makamah syariah antara lain ialah memeriksa, memutus dan menyelasaikan perkara-perkara pada tingkat pertama dalam bidang ahwal al-syakhsiyah, mu’amalah dan jinayah. Selain itu, makamah syariah juga bertugas dan berwewenang memerikasa dan memutuskan perkara yang menjadi wewenangannya dalam tingkat banding. Mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir dalam sengketa kewenangan antara makamah syariah di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Informasi lebih lanjut mengenai tugas dan wewenang makamah syariah lihat Qanun No. 10 dan No. 11 Tahun 2002 dalam apendiks dibagian akhir dalam buku Ini.  Di samping Qanun, juga di lampirkan undang-undang RI No. 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan Undang-undang RI No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh. Kecuali itu, peraturan daerah (perda) No. 5 Tahun 2000 tentang pelaksanaan syariat islam di Aceh juga di sertakan.

Lampiran-lampiran ini dimuat dengan alasan sementara ini baik undang-undang maupun Qanun belum di kenal oleh masyarakat luas., baik masyarakat Aceh maupun masyarakat luar Aceh. Dengan adanya lampiran tersebut, sekurang-kurangnya masyarakat pada umumnya dapat mengetahui secara jelas tantang atau isi undang-undang, perda, dan qanun yang menjadi landasan pelaksanaan syariat islam, beserta penjelasanya, di Provinsi Daerah Istimewa Aceh.


Source : Buku Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh – H. Hasan Basri, MA

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Makamah Syariah : Tugas dan Wewenang"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel