Revitalisasi Syari'at Islam : Refleksi Sejarah – Part I


Revitalisasi Syari'at Islam : Refleksi Sejarah – Part I
Mesjid Raya Baiturrahman Aceh
Untuk menyelesaikan masalah Aceh, pemerintah juga memberikan hak kepada masyarakat “Serambi Mekkah” untuk melaksanakan Syariat Islam dalam kehidupan mereka.  Pemberian hak melaksanakan syariat islam ini, secara yuridis, merupakan perwujudan dari UU RI No.44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan atau otonomi khusus Aceh yang meliputi empat bidang utama : pertama, penyelenggaraan kehidupan beragama. Kedua, penyelenggaraan kehidupan adat. Ketiga, penyelenggaraan pendidikan, dan keempat, peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Dalam konteks itu, Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Aceh mengesahkan dua Qanun yang menjadi landasan operasional syariat islam di Aceh.  Yaitu Qanun yang No.10 Tahun 2002 tentang peradilan syariat islam dan Qanun No.11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah, ibadah dan syiar islam.  Namun bago masyarakat aceh lahirnya undang undang dan qanun tersebut bukanlah hal baru, tetapi secara historis, syariat islam di bumi Aceh, sudah di laksanakan dalam kehidupan nyata sejak beberapa abad lalu, ketika Aceh masih berbentuk kerajaan.


Kerjaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Muhayat Syah adalah sebuah kerajaan yang di tegakan atas asas-asas islam. Dalam adat mahkota alam, yaitu undang-undang dasar Kerajaan Aceh Darussalam, yang di ciptakan atas arahan Sultan Iskandar Muda, misalnya,  disebutkan bahwa sumber hukum yang di pakai dalam Negara ialah Al-qur’an dan Al-hadist, Ijma’ dan Qiyas. Bahkan Sultan Iskandar Muda, mengganti hukum-hukum terdisional dengan hukuman yang berdasarkan yang berdasarkan syariah/fiqih. Termasuk misalnya pengahapusan hukuman menculupkan tangan penjahat kedalam minyak panas dan menggantinya sesuai kententuan hukum jinayah.

Kemudian, masyarakat Aceh, sepnajang sejarah, telah menjadikan agama sebagai pedoman dalam kehidupannya. Penghayatan dan pengamalan ajaran islam dalam rentang sejarah yang cukup panjang itu telah melahirkan suasana masyarakat dan budaya aceh yang islami, budaya dan adat yanga lahir dari ijtihat para ulama, kemudian di praktikan di kemabangkan kemudian di lestarikan oleh masyarakat.  Bahkan dalam perjalanan sejarah sejak abad ke-17 sampai dengan pertengahan abad ke -19. Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan, politik, hukum, pertahanan dan ekonomi. Puncak keemasan Aceh Darussalam tersebut tidak dapat di pisahkan dari pemberlakuan syariat Islam sebagai pedoaman hidup rakyat Aceh Darussalam dalam seagala aspek kehiduapan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kondisi tersebut tercermin dalam kehiduapan bijak :

“ Adat bak Poeteumeureuhoem,
“ Hukoem bak Syiah Kuala,
“Qanun bak Putroe Pahang,
“Reusam bak Laksamana,

“Hukoem ngon Adat,
“Lagee Dzat ngoen Sifeut.
“ Adat berada di tangan Sultan
Hukum berda di tangan Ulama

Reusam berada di tangan Laksamana
Qanun berada di tangan Putri Pahang
Hukum dengan Adat
Seperti Zat dengan Sifat”

Seluruh ungkapan di atas meruapakan percermianan bahwa syariat islam telah menyatu dan menjadi pedoaman hidup bagi masyarakat aceh melalui para ulama sebagai pewaris para rasul. Filsafah tersebut dalam pandangan masyarkat aceh dewasa ini masih dapat di artikulasikan dalam perspektif kontemporer kehidupan bernegara dan mengatur pemerintahan yang demokratis dan tanggung jawab. Tantanan kehudupan yang demikan itu masih mungkin untuk di lestarikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikain, pelaksaan syariat islam di aceh meruapak refleksi dan kesinambungan proses sejarha masa lalu, diaman generasi sekarang mendambakan kemapanan hukum islam pada masa kini seperti sediakala. Dalam kintrk inilah kita dapat memahami masyarkat aceh dalam segala kelemahan dan kelebihannya, termasuk konflik social, ysng harus di tinjau dari segi sosio-historisnya. Tambahan pula bahwa sebenarnya, sejak kedatangan islam di asia tenggara, tidsk sedikit orang muslim yang dapat di sebut sebagai “syariat minded” , yang menolak kompromi dengan adat dan tradisi lokal dan mempertahaankan ortodoksi. Ini benar terjadi, khususnya, dikalangan masyarkat di kota-kota pelabuhan yang memerlukan kepastian hukum dalam menjalankan perdagangan mereka yang bersifat internasional. Ketentuan-ketentuan syariat mengenai perdagangan cukup memadai untuk memberikan kepastian hukum dan lebih lanjut, sebagai kosekuensinya, keamanan dalam perdagangan.
Secara sosio-religius, para penguasaha menunjukan kebesaran mereka pada kesempatan-kesempatan yang secara jelas dapat dilihat masyarakat sebagai penyimbolan komitmen mereka kepada islam. Di Aceh, dan juga di Ternate, misalnya, berlangsung prosesi mingguan secara besar-besaran, yang melibatkan ribuan orang dan puluhan gajah, untuk mengiringi raja masing-masing menuju masjid untuk menunaikan iabdah jum’at. Prosesi lebih spektakuler lagi diadakan pada hari raya idhul fitri dan idhul adha. Pada idul adha 1637, menurut catatan pengembara Peter Mundy, sekitar 500 kerbau disembilaih sebagai qurban. Perayaan-perayaan besar seperti ini di aceh, misalnya, berlangsung sepanjang kekuasaan empat sultan pertama abad ke-17, dan baru di hentikan di masa kekuasaan ratu pertama, Sultanah Taj al-Alam (1641-1647).*


Sumber : Buku Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh - Prof. Dr. H Rusjdi Ali Muhammad, SH., MA

Oleh : Prof.Dr. Azyumardi Azra

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Revitalisasi Syari'at Islam : Refleksi Sejarah – Part I"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel