Revitalisasi Syariat Islam_Refleksi Sejarah – Part II


Revitalisasi Syariat Islam_Refleksi Sejarah – Part II
Razia Polisi Syariat Islam di Aceh
Selain itu, baik sumber lokal ataupun asing, menyebutkan bahwa terdapat penguasa absolut muslim di nusantara juga meberlakukan hukum syariat di wilayah kekuasaan masing-masing. Hukum potong tangan atau kaki, menurut mazhab syafi’I, misalnya, diberlakukan pada pelaku pencurian. Hukuman seperti ini di berlakukan di aceh sepanjang abad ke-17, Brunai semenjak 1580-an, di Banten sejak pada masa kekuasaan Sultan Abdul al-Fattah Anggeng (1651-1682), di beberapa kesultanan di semenajung Malaya, dan mindanau pada masa-masa sesudahnya. Kesultanan Aceh, seperti yang di kemukakan di atas, juga menjatuhkan hukuman berdasarkan syariat islam terhadap orang-orang yang kedapatan meminum arak, berjudi, perampokan dan juga lain-lain. Banten juga menegakan hukum syariat terhadap orang-orang yang mengguanakan opium dan tembakau. Hukuman menurut syariat juga di berlakukan secara lebih keras lagi terhadap para pelaku pelanggaran seksual.

Di kesultanan Patani misalnya, seorang bangsawan Melayu menghukum mati anak perempuan yang terbukti melakukan pelanggaran seksual. Di Aceh dan Brunai hukuman berat seperti ini juga di berlakukan. Sultan Iskandar Muda, misalnya, di penghujung pemerintahannya konon menjatuhkan hukuman rajam ke atas putranya sendiri, Meurah Pupok, yang di dapatinya melakukan zina dengan istri seorang perwira muda.

Pada saat itu, Perintah juga di keluarkan para penguasa kepada  rakyat mereka untuk menegakan kewajiban-kewajiban agama. Di Aceh, misalnya, Sultan Ala al-Din dan Iskandar Muda memerintahkan shalat 5 waktu sehari semalam dan ibadah puasa secara ketat. Hukuman di jatuhkan kepada meraka yang melanggar kewajiban ini. Sementara itu, di kesultanan Jambi, Sultan mewajibkan rakyatnya berpakaian yang menurut pengamat belanda, mirip dengan pakaian paus di roma. Begitu pula kesultanan Makassar pada masa pemerintahan sultan hasanuddin, kaum laki-laki dan wanita di wajibkan memakai pakaian yang menurut sumber-sumber barat seperti pakaian orang arab. Tetapi dalam perkembangannya, kebayak panjang bagi wanita, pakaian melayu bagi laki-laki di terima sebagai kompromi antara cara berpakaian lokal dengan pakaian yang di sebut “model Arab” tadi. Selain itu, laki-laki harus memotong pendek rambut mereka.  Dan di Aceh masyarakat di larang membuat tato pada tubuh mereka.

Untuk menjamin penegakan ketentuan-ketentuan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti contoh-contoh di atas, kesultanan-kesultanan terkemuka di negeri-negeri “bawah angin” mendirikan peradilan-peradilan syariat. Seluruh kaum muslimin di wajibkan mematuhi peraturan-peraturan ketentuan syariat. Seluruh kaum muslimin diwajibkan mematuhi ketentuan-ketentuan yang di putuskan peradilan agama. Peradialan-peradilan agama, seperti di Aceh, Patani, Banten, Ternate dan tempat-tempat lainnya, di pimpin oleh ualam terkemuka seperti terkadang di sebut sumber barat sebagai “great bishop”(uskup besar) yang fasih berbahasa arab. Peradilan-peradilan agama ini, selain memerikasa kasus-kasus pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan syariat mengenai shalat, puasa dan sebagainya juga menangani kasus-kasus hutang. Perkawinan, perceraian dan waris, bahkan, peradialan agama di Banten menangani seluruh kasus perdata(civil) dan pidana (kriminal).

Kitab undang-undang malaka, umpamanya, oleh banyak pakar di pandang sebagai kitab hukum dan olitik di dunia melayu. Kitab undang-undang ini menunjukan kuatnya pengaruh unsur-unsur islam, khususnya yang berasal dari mazdhap Syafi’i. bahkan, bagian tertentu undang-undang malaka hanya merupakan terjemahan-terjemahan dari kitab-kitab standart mazhab Syafi’I, termasuk kitab Fath al-Qarib karangan Abu Syuja’. Undang-undang malaka pada intinya meletakan pada beberapa prinsip pertemuan dan kesesuian antara hukum islam dan adat setempat. Pertama gagasan tentang kekuasaan dan sifat daulat di tentukan berdasarkan prinsip-prinsip islam. Kedua, pemeliharaan ketertiban umum dan penyelesaian perkara-perkara hukum di dasarkan pada ketentuan-ketentuan Islam dan Adat.  Ketiga, hukum kekeluargaan pada umumnya di dasarkan pada ketentuan fiqih islam. Keempat, hukum dagang di rumuskan berdasarkan praktik perdagangan kaum muslimin. Dan kelima, hukum yang berkaitan dengan kepemilikan tanah umumnya berdasarkan adat.

Dengan demikian, dalam perkembangan tradisi politik Melayu di Nusantara, pembinaan hukum di lakukan dengan mengambil prinsip-prinsip hukim islam, dan mempertahankan ketentuan-ketentuan adat yang di pandang tidak bertentangan dengan hukum islam. Hampir seluruh kitab jawi klasik tidak tidak mengisyaratkan adanya konflik atau pertentangan antara syariat islam dan kentuan adat. Grjala konflik ini baru muncul ketika sebagian muslim ini semakin syariah oriented, khususnya setelah kemunculan gerakan padre di Minangkabau, yang menolak kompromi agama denagn adat. Gerakan padre ini di pandang mempunyai dampak dan pengruh lebih jauh di berbagai kawasan di nusantara. Konflik antar agama dan adat itu, khususnya di Indonesia, di pertajam oleh pula penjajah belanda. Sarjana belanda, semacam snock hurgronje, memandang bahwa antara islam dan adat tidak ada hubungannya satu sama lain. Yang ada hanyalah keterpisahan dan bahkan bertentangan. Hal ini lebih jauh di gambarkan dengan pertentangan yang kontinyu antara pemimpin agama (ulama) dan pemuka-pemuka adat(uleebalang dalam konteks aceh) yang bertarung untuk bertaruh di kalangan kaum muslimin.

 Gerakan reformisme dan kemudian modernism islam, yang tak jarang sangat syariah oriented itu, tidak hanya menggugat kompromi agama dengan adat, tetapi juga mempertanyakan keabsahan konsepsi dan tradisi politik melayu dengan segala konsepsi dan tradisinya nyaris habis dilanda kolonialisme Belanda, sebaliknya di semenanjung Malaya dan juga Brunai tradisi dan struktur tradisi Melayu dalam segi-segi tertentu, bahkan semakin di perkokoh kolonialisme Inggris, karena itulah, tradisi politik melayu mampu bertahan di kawasan yang disebut terkhir ini hingga sekarang. Namun, itu tidak berarti tanpa oergumulan. Ide-ide politik modern seperti nasionalisme, egalitarisme, dan demokrasi juga mendatangkan ancaman terhadap kesultanan Melayu. Selepas Perang Dunia II, Kaum muda radikal di semenanjung, misalnya, menggungat “daulat raja” bagi mereka, kadaulatan bukan hanya milik raja, melainkan milik rakyat atau “daulat rakyat”. *

Source : Buku Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh - Prof. Dr. H Rusjdi Ali Muhammad, SH., MA
Oleh : Prof.Dr. Azyumardi Azra 

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Revitalisasi Syariat Islam_Refleksi Sejarah – Part II"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel